Kewajiban hilirisasi batu bara hanya berlaku bagi perusahaan pemegang IUPK sebagai lanjutan operasi PKP2B.
Petugas mengoperasikan stekker recliming untuk memindahkan batu bara ke conveyor belt di kawasan tambang batu bara airlaya milik PTBA di Tanjung Enim, Muara Enim, Sumatera Selatan. Antara Foto/Nova Wahyudi
JAKARTA – Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tri Winarno menegaskan agenda hilirisasi batu bara hanya diwajibkan bagi perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai kelanjutan operasi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).
Dari ketentuan itu, Tri meluruskan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) sebagai Anggota Holding BUMN Pertambangan PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID) sejatinya tidak memiliki kewajiban untuk menjalankan agenda hilirisasi batu bara karena izin yang dikantongi merupakan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
“Kalau PTBA itu kan IUP, dia tidak mempunyai kewajiban apapun. Tapi kalau misalnya dia mau membangun, silakan,” ungkapnya di Gedung Parlemen, Selasa (6/5).
Baca Juga: Soal Hilirisasi Batu Bara, Pemerintah Wajib Buka Opsi Lain Di Luar DME
Tri pun menjelaskan saat ini ada tujuh perusahaan tambang batu bara yang mendapat kewajiban menjalankan hilirisasi batu bara, yakni PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Multi Harapan Utama, PT Tanito Harum, dan PT Berau Coal.
Produknya pun beragam, mulai dari DME, metanol, amonia, listrik urea, hingga semikokas dengan kapasitas input batu bara yang juga bervariasi pada setiap perusahaan.
“Arutmin Indonesia rencananya menjadi metanol dan amonia, KPC metanol, Adaro metanol dan DME, Kideco Jaya Agung ini listrik dan untuk tahap komersial tahap kedua ini amonia dan urea, kemudian MHU semikokas, Tanito Harum juga semikokas, dan Berau Coal metanol,” jelas Tri Winarno.
Meski tak diwajibkan untuk menghilirkan batu bara, emiten tambang pelat merah berkode saham PTBA punya penugasan khusus untuk menjalankan gasifikasi batu bara pada era Presiden Ke-7 Joko Widodo.
Sayangnya, penugasan itu masih belum berjalan sampai saat ini pascahengkangnya perusahaan asal Amerika Serikat, yakni Air Products dari kerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk pada 2023 lalu.
Adapun penugasan yang diberikan pemerintah kepada PTBA ialah melakukan gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) yang digadang-gadang dapat menjadi substitusi dari Liquified Petroleum Gas (LPG).
Sebelumnya, Direktur PTBA Arsal Ismail mengungkapkan pihaknya menghadapi beberapa tantangan dalam menjalankan penugasan gasifikasi batu bara menjadi DME.
Baca Juga: PTBA Bakal Sulap 8 Juta Ton Batu Bara Per Tahun Jadi Gas Sintetis
Arsal menerangkan tantangan utama ialah dari faktor keekonomian. Dalam hal ini, perusahaan telah melakukan kajian dan perhitungan sehingga didapatkan harga produk DME masih jauh lebih mahal ketimbang impor LPG.
“Pertama itu tantangan keekonomian, di mana estimasi harga DME hasil produksinya masih lebih tinggi dari harga patokan yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM, dan juga analisa perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG impor,” sebutnya, Senin (5/5).
Selain faktor keekonomian, tantangan juga datang dari sisi infrastruktur. PTBA dalam menjalankan proyek gasifikasi batu bara wajib membangun jalur distribusi maupun perangkat kompor rumah tangga supaya bisa kompatibel dengan produk DME.
“Jaraknya itu kurang lebih 172 km, serta perlu kesiapan jaringan niaga dan distribusi bahan bakar alternatif ini secara luas,” tambah Arsal.