Semarang, IDN Times – Pemerintah Indonesia resmi meluncurkan Peta Jalan Hidrogen dan Amonia Nasional 2025–2060 sebagai turunan dari Strategi Hidrogen Nasional. Langkah itu menargetkan pemanfaatan hidrogen bersih di empat sektor utama: industri, pembangkit listrik, jaringan gas, dan transportasi.
Rencananya, industri baja dan kilang menjadi sektor pertama yang akan mulai memanfaatkan hidrogen pada 2025, diikuti industri pupuk, kimia, tekstil, serta makanan dan minuman secara bertahap hingga tahun 2041.
1. Biaya produksi terus menurun
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, hidrogen hijau–hidrogen yang dihasilkan dari energi terbarukan seperti surya, angin, biomassa, dan panas bumi–berpotensi besar untuk mempercepat dekarbonisasi sektor energi di Indonesia. Penekanan itu disampaikan saat Global Hydrogen Ecosystem (GHES) 2025 di Jakarta, Rabu (16/4/2025).
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyatakan, berdasarkan analisis IESR, biaya produksi hidrogen hijau di Indonesia saat ini masih berada di kisaran USD 4,3 hingga USD 8,3 per kilogram. Namun, angka itu diproyeksikan turun drastis menjadi sekitar USD 2 per kilogram sebelum tahun 2040, atau bahkan bisa tercapai pada 2030 jika ekosistem energi hijau nasional segera dikembangkan.
“Untuk membangun ekonomi hidrogen hijau yang kompetitif, Indonesia butuh pendekatan terkoordinasi. Ini mencakup pengembangan teknologi, regulasi yang mendukung, mekanisme pembiayaan yang inovatif, dan kerja sama internasional,” kata Fabby dilansir keterangan resminya kepada IDN Times, Minggu (27/4/2025).
Baca Juga: [FOTO] Pesona Estetik Anggrek Nambangan dari Sentuhan Listrik Berkelanjutan
2. Ada 6 pilar pembangunan ekosistem hidrogen hijau
IESR merinci enam strategi utama untuk mempercepat pembangunan hidrogen hijau di tanah air.
Pertama, mempercepat pengembangan energi terbarukan dan teknologi elektroliser lokal agar biaya listrik produksi hidrogen makin rendah. Kedua, integrasi hidrogen ke sektor kelistrikan dan industri, serta mulai membuka jalur ekspor ke pasar internasional.
Ketiga, pengembangan infrastruktur pendukung seperti pipa gas, stasiun pengisian hidrogen, hingga kesiapan pelabuhan untuk ekspor amonia. Keempat, menyediakan insentif dan dukungan pembiayaan, termasuk skema jaminan pembeli oleh BUMN dan pengenaan pajak karbon untuk memitigasi risiko investasi awal.
Kelima, menyusun regulasi yang lebih jelas, seperti klasifikasi hidrogen nasional dan integrasi proyek hidrogen ke dalam sistem perizinan industri. Keenam, membangun kapasitas sumber daya manusia melalui program pelatihan, sertifikasi, dan dukungan riset dan inovasi.
3. Peluang besar di pasar global
Fabby mengungkapkan, berdasarkan proyeksi Deloitte 2023, pasar hidrogen di Asia Tenggara diperkirakan akan mencapai USD 51 miliar pada 2030, dan naik menjadi USD 141 miliar di 2050. Sekitar sepertiga dari permintaan global hidrogen diproyeksikan berasal dari perdagangan antarnegara.
“Kalau Indonesia ingin menjadi pemain kunci dalam pasar energi bersih dunia, investasi di ekosistem hidrogen hijau harus dilakukan dari sekarang. Dengan langkah konsisten, kita bisa menjadi pusat produksi dan ekspor hidrogen rendah karbon di ASEAN,” aku Fabby.
Sebagai bagian dari upaya konkret, IESR juga membentuk Komunitas Hidrogen Hijau Indonesia (KH2I). Komunitas tersebut bertujuan menghubungkan berbagai pihak terkait melalui riset, dialog kebijakan, dan pengembangan pasar untuk mempercepat adopsi hidrogen hijau.
Bagi yang ingin bergabung, pendaftaran dibuka melalui tautan s.id/KomunitasHidrogen.
Baca Juga: Dekarbonisasi Industri: Kunci Tingkatkan Daya Saing Produk Domestik